Monday, November 17, 2014

Politik “Lagi Modus” (Tanggapan atas Rachmat Hidayat)

Oleh: Astar Hadi

Mencermati tulisan Ketua DPD PDI Perjuangan NTB yang juga sekaligus Anggota DPR RI, Rachmat Hidayat, berjudul Teman atau Pembantu Teman: Mana yang Dibutuhkan NTB ((Lombok Post, Senin 3 November 2014), seolah-olah memposisikan dirinya sebagai seorang dokter/ahli klinis yang mampu mendiagnosa sebuah penyakit akut yang sedang menulari (pemerintah) NTB. Dengan semangat menggebu-gebu yang dibumbui penjelasan retoris yang meliuk-liuk, mulai dari mengutip Imam Khomeini hingga Chairil Anwar, tulisan tersebut seolah-olah filosofis-kritis meski pada kenyataannya pendasaran teoritik-filosofisnya cenderung meloncat-loncat (jump to conclusion) dan terjebak pada paham “ilmu gathuk” alias mencari-cari kepadanan antara kutipan dan “fakta” yang ingin ditunjukkan meskipun tak memiliki alur logis yang konsisten/sinkron.
Singkat kata, tulisan ini tak berpretensi membahas secara detil berbagai kutipan –selengkapnya baca Lombok Post, Senin 3 November 2014— yang menjadi basis analisis Rachmat atas apa yang menurutnya “kondisi darurat NTB”. Penulis mengarahkan diri pada upaya membongkar “kelemahan-kelemahan” teoritik-filosofisnya dalam menafsir/menganalisis kondisi NTB saat ini sekaligus untuk menunjukkan kerancuan logika berpikir pada dirinya (contradictio interminis).
Pada konteks tulisan tersebut, Rachmat menyodorkan kepada kita sebuah potret “buram” NTB yang, baginya, telah dikuasai oleh tunggal kebenaran yang anti kritik. Ia merasa “galau” dengan konstelasi politik NTB yang, seakan-akan, tak memberi ruang dialektika demi terbukanya ruang publik demokratis yang seharusnya menjadi ranah kontestasi nilai-nilai bersama (shared value) antara pemerintah dan masyarakat dalam mendialogkan kepentingan/kehendak politik bagi kemaslahatan semua pihak.
Orang nomer satu PDIP NTB ini menulis, “di dalam dunia politik Indonesia dan NTB saat ini, fakta menunjukkan… bahwa terjadi klaim kebenaran yang sedemikian massif dari kelompok-kelompok politik yang ada, klaim yang bahkan sudah memuncak menjadi semacam “mitos,” bahwa kebenarannya adalah final dan tak terbantahkan. Mitos yang kemudian menutup kritik, membuatnya menjadi konsep yang hampa masukan dan saran…”

Mesin (Politik) Kebenaran
Untuk menariknya dalam pemahaman yang lebih universal, pada kondite sejarah kekuasaan politik, tentu saja, apa yang disampaikan oleh Rachmat dalam tulisannya tersebut merupakan jejak purba sejarah kekuasaan yang sudah sangat klasik dan sangat mungkin berlaku dalam setiap kepimimpinan sebuah rezim hingga kini. Rachmat benar, bahwa hampir –untuk mengatakan sebagian besar— dalam setiap orde pemerintahan (Negara) selalu ada mesin politik yang berfungsi sebagai alat “kebenaran” negara atas suara-suara sumbang yang hendak melawan, merongrong dan atau, paling tidak, mengganggu jalannya “wibawa” kekuasaan yang sedang berlangsung.
Negara, melalui mesin politiknya, selalu berupaya meminimalisasi kemungkinan hadirnya (kebenaran) “yang lain,” menegasi yang berbeda sebagai sesuatu yang sebisa mungkin harus diredam baik dengan cara-cara represif (hard power) melalui tangan aparat ataupun dengan cara-cara lembut (soft power) melalui kerja-kerja ideologis “aparat” intelektual yang secara terus-menerus mereproduksi opini untuk memastikan “kebenaran” versi penguasa tetap terjaga.
Demo menolak kenaikan BBM yang menyebabkan tertembaknya seorang korlap demonstran –Sapriadi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur— di Makasar, Sulawesi Selatan, beberapa hari yang lalu, menjadi salah satu indikasi kuat bekerjanya mesin “kebenaran sepihak” sebuah rezim yang tak memberi ruang bagi hadirnya wacana lain di luar (kebenaran) wacana dirinya. Pada contoh kasus ini, tengara Rachmat tentang keniscayaan kekuasaan menemukan relevansi konseptual dan fakta empirisnya.
Dengan contoh kasus di atas, penulis berupaya menempatkan posisi kritik Rachmat sebagai “kondisi objektif” relasi kuasa tiranik (tends to corrupt) yang berlaku sebagai sebuah simptom umum yang hampir –untuk mengatakan sebagian besar— selalu terjadi di setiap orde pemerintahan, baik di tingkat pusat –Rezim Jokowi— maupun (fenomena) raja-raja kecil di daerah. Pada posisi ini, kutipan-kutipan filosofis Rachmat menghadirkan nuansa kritis-reflektif.
Lantas, apakah logika filosofis Rachmat itu berkelindan lurus dengan logika/fakta empiris kekuasaan yang ada di NTB?

Sesat Pikir “Puisi Indah Tanpa Isi”
Sah-sah saja Rachmat mengutip Imam Khomeini, Chairil Anwar, atau pun dalil Nash (al-Qur’an-Hadits), untuk memperkuat analisis yang hendak ia bangun. Tapi ia alfa menyoroti secara detil realitas kontestasi dan konstelasi politik yang sedang berjalan sehingga kutipan-kutipan mendalam yang ia sodorkan tak lebih seperti sebuah puisi dengan diksi-diksi indah tapi miskin isi. Artinya, apa yang dilihatnya sebagai monopoli kebenaran sepihak tak cukup memadai jika analisis ini kita lihat dalam perspektif ruang publik (public sphere) Jurgen Habermas –Filsuf asal Jerman— yang justru menunjukkan fenomena sebaliknya. Bahwa di Indonesia, khususnya NTB, saat ini, berlaku gejala umum yang menghadirkan mimbar bebas argumentasi, informasi, kebebasan mengemukakan pendapat, melubernya ruang publik, yang tidak saja dijamin oleh Undang-undang (legal-formal), tapi secara riil dipraktikkan dalam ranah politik dan masyarakat sipil.
Seturut itu, Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara (state) dan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar.
Mengamati perkembangan satu decade terakhir pasca Reformasi, gelombang keterbukaan informasi dan melubernya mimbar-mimbar publik yang secara bebas memberi ruang bagi kritik terhadap pemerintah –dalam hal ini NTB— menegaskan keberlangsungan dialektis wacana-wacana untuk diperdebatkan dan diargumentasikan sedemikian rupa. Hal ini mengandung satu makna penting bahwa ruang publik menjadi ajang bagi masyarakat sipil untuk mendesakkan sekaligus menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap baik atau buruk bagi kemaslahatan bersama. Menjadi jelas jika kemudian klaim kebenaran sepihak yang diklaim Rachmat sebagai “cara kerja” pemerintahan di tingkat Provinsi adalah semacam igau bawah sadar seorang saat tidur yang tanpa sadar meluapkan kekecewaan-kecewaan pribadinya yang bersifat privat menjadi seolah-olah persoalan publik.
Dengan demikian, patut diduga bahwa ia sedang berupaya membangun politik pengetahuan (kuasa) kebenaran berdasarkan visi subjektifnya yang, alih-alih benar secara empiris, justru salah alamat dan menunjukkan kerancuan logika berpikir pada dirinya (logical fallacy). Antara kutipan dan fakta (politik) yang ia potret/gambarkan tak menunjukkan hubungan yang saling membenarkan secara faktual dan hadir.

“Lagi Modus” (Politik)
Perkara kontestasi kawan-lawan dan atau teman-pembantu yang menjadi “kegalauan” anggota DPR RI Dapil NTB ini seharusnya diletakkan Rachmat sebagai sebuah keniscayaan kontestasi politik yang riil ketimbang semacam “rengekan/keluhan” moral yang dibumbui sentuhan ayat-ayat filosofis dan dalil Nash yang tidak pada tempatnya. Mengapa demikian?
Tanpa berupaya menegasi makna mendalam dari kutipan-kutipan/dalil Nash yang ia cangkokkan, penulis melihat bahwa cakrawala kritik yang dilancarkan Rachmat dengan mengaitpautkan terma “teman-pembantu” dalam kategori “analisis politik” yang bersifat oposisi bineristik (oposisi pasangan) –hitam-putih/baik-buruk/benar-salah— untuk memotret realitas NTB saat ini, sejatinya hanya menunjukkan kelemahan pendasaran filosofis (epistemologi) yang ia pakai. Alih-alih, maksud hati menghadirkan pendasaran filosofis atas “gejolak” di lingkar kekuasaan yang, menurutnya, sudah merupakan “keadaan darurat”, Rachmat justru tampak seperti seorang yang sedang “mengeluh” atas dasar motif kariris tertentu ketimbang secara gamblang memaparkan kebenaran fakta-fakta riil politik “teman-pembantu” yang menulari pusat kuasa di Daerah. Tengara ini bisa saja memantik pertanyaan besar yang berbalik pada diri Rachmat sendiri yang, dalam trend bahasa gaul remaja, “lagi modus.” Ada udang dibalik batu.
Retorika bahasa politik ala Rachmat ini jauh-jauh hari sudah didengungkan oleh Filsuf Politik Perancis, Karl Schmiit, sebagai tak lebih “hanya” ekspresi emosi dan motif politik pribadi yang tak serta-merta sebentuk sikap “keikhlasan seorang teman mengkritisi teman“ yang siap dicaci/dimusuhi demi kebaikan temannya. Secara cukup panjang Schmiit menegaskan, “Politik bersandar pada kekhasannya yang utama, yang darinya berasal segala tindakan yang secara khusus bersifat politik… Kekhasan yang khas dari politik, yang darinya segala tindakan dan motif politik dapat diasalkan, adalah pembedaan antara kawan dan lawan… Pembedaan kawan dan lawan menunjuk pada derajat intensitas tertinggi dari setiap penyatuan atau pemisahan, dari setiap asosiasi atau disasosiasi… Konsep kawan dan lawan perlu dipahami dalam artinya yang konkret dan eksistensial, bukan sebagai metafor atau simbol, bukan dicampur-aduk dan dilemahkan dengan pengertian-pengertian ekonomi, moral, apalagi disalahpahami dalam artinya yang privat individualistik sebagai ekspresi psikologistis dari emosi-emosi pribadi”.

Kritik Diri: Sebuah Apresiasi
Penulis layak mengapresiasi sikap Rachmat yang secara cukup “berani” membongkar “borok” kekuasaan di mana ia adalah salah satu bagian langsung dari rumah tangga kekuasaan tersebut dalam posisinya sebagai pimpinan tertinggi PDIP Provinsi NTB. Pun demikian, hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya sebagai orang nomor satu PDIP di NTB dalam menghadirkan sebanyak-banyaknya “teman” ketimbang menyediakan seabrek “pembantu teman” di lingkaran kuasanya. Tepat seperti ia katakan, “situaasi “mengumpulkan pembantu dan menyingkirkan “teman” ini merupakan keadaan darurat, karena sejarah manusia telah membuktikan bahwa kepatuhan dan deklarasi kesetiaan sebanyak-banyaknya pembantu, hanya menghasilkan senyum dan kemesraan palsu antara para “pembantu” dan sang “Tuan.” Bukan begitu?! Wallohu a’lam bi al-shawab.

*Astar Hadi adalah Ketua Litbang BMD (Barisan Massa Demokrat NTB).
**Pernah dimuat di Lombok Post, Rabu 12 November 2014

Wednesday, January 1, 2014

Sasak Meng-Indonesia...!!!

Singsingkan lengan baju
Kepalkan tinju ke empat penjuru
Hantam kerasnya kepala-kepala batu
Bungkam wajah-wajah berhati palsu
Berotak dungu
Bermental dadu

Maju...!!!
Ayo terus maju
Meng-Indonesia Raya bangsa Sasakku

Maka, jadilah pepadu
Kau tak perlu ragu
Saatnya kau melaju...!!!

"Met Tahun Baru"

#Resolusi_2014


Kelana, Lombok, 01 Januari 2014